Kita sama-sama sudah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997. Kita tahu betapa kerusuhan, hilangnya bisnis, hilangnya pekerjaan begitu mencekam dan menimbulkan ketidaknyamanan. Meninjau keadaan sekarang, banyak pihak mengatakan Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cepat lupa sehingga pulihnya keadaan sering tidak diambil hikmahnya, tidak memberi “lesson learned” kepada individunya. Banyak bukti bahwa orang yang mengalami dampak krisis yang berat, juga tidak mengubah pola kerja, pola hidup dan pola berpikirnya.
Ada yang berkomentar, “Mungkin kita terlahir sebagai bangsa yang ‘nyantai‘, tidak pernah bergegas dan terburu-buru”. Seorang eksekutif kenalan saya secara geregetan bertanya, “Bagaimana sih membangkitkan ‘sense of crisis’ di lingkungan yang sudah nyaman begini?” Lah, untuk apa ada “sense of crisis” kalau sebenarnya tidak ada krisis? Beliau dengan berang mengatakan, “Orang-orang sudah terlalu santai. Tidak antisipatif. Tidak ada inisiatif untuk perombakan”. Padahal, situasi persaingan yang kita hadapi terkadang tidak masuk akal. Perang tariff, perubahan organisasi, pelanggan yang maunya macam-macam, gratisnya akses ke segala macam informasi, menyebabkan kita, apakah di dunia usaha atau sebagai professional tidak bisa tinggal diam ataupun puas dengan kesuksesan masa lampau.